Antara Logika dan Rasa
Antara Pelayanan dan Pengakuan
Hampir 3 bulan terakhir ini rasanya
hati ini ga enak, ketika dihadapkan dengan persoalan yang tengah terjadi di
gereja. Belum reda mengatasi pergumulan di Komisi Pemuda, ditambah persoalan
pelik ketika seorang gembala sidang membuat statement yang mengagetkan semua
jemaat. Prihatin, sedih, menyayangkan kadang malah gemes dan marah.. campur
aduk menjadi satu perasaan yang melelahkan!
Jujur rasanya kalau mau sembahyang, penginnya ngungsi dulu ke gereja
lain agar ada keteduhan dan hati yang damai. ahhh...
Pernyataan yang membuat kaget
setiap orang yang mendengarnya, bayangkan; “Hanya 10% kadar pelayanannya, minta
alih pelayanan, membatasi diri dengan hanya sampai per tgl 12 November 2017
masa pelayanannya” Sungguh sesuatu yang
sangat memprihatinkan menurut saya... L
Seorang gembala sidang yang sudah
semestinya menjadi panutan dan teladan bagi domba–domba gembalaan-nya. Eeehhh... malah membuat
ketidaknymanan dan hati tidak tenang bagi jemaatnya dengan statement seperti
itu. Bahkan sempat terjadi friksi dan membuat emosi diantara jemaat yang mencedarai
persekutuan yang damai, guyub rukun selama ini.
Persoalan yang sebenarnya seacara
esensi tidak fatal dan prinsip, tetapi membuat banyak orang letih
memikirkannya. Apakah ini yang kau
kehendaki? Apakah hal ini disebut
memberkati? Mana teladanmu? Mana
panutanku?!
Saya bukan orang yang tahu persis
apa makna dari “adeging pandhito”, bahkan pengetahuan tentang peraturan
gerejapun saya juga tidak tahu detilnya, tapi saya bisa merasakannya melalui rasa
dan logika.
Secara logis; adeging pandhito
itu seharusnya melayani dengan sepenuh hati (kanthi gumolonging manah), bahkan
1001% kalau memang itu bisa dan mampu dilakukan. Melayani bukan untuk mencari pengakuan
manusia (ukuran-ukuran manusia). Siapapun dan apapun bentuk pelayanan pasti mendapati
banyak benturan dari yang dilayani yang kadang beda persepsi (krn bisa jadi
beda cara pandang dan beda latar belakang), tetapi hal itu seharusnya bukan
menjadi halangan atau malah menjadi alasan menghindarinya, dan justru seharusnya
bisa menjadi bahan pengalaman dapat menguatkan kadar pelayanannya. Antara rasa dan logika menjadi muncul di benak
saya. Kenapa ini musti terjadi?
Melayani Tuhan berfokus pada
mengerjakan apa yang Tuhan mau untuk kita kerjakan. Melayani Tuhan menghasilkan
buah-buah roh dan memberkati orang yang dilayani, tetapi kalau melayani hanya
untuk mendapatkan pengakuan jati diri ... nanti malah akan menghasilkan kekecewaan,
pait hati dan kelelahan yang panjang ketika terbentur dengan ketidakcocokan. Melayani Tuhan tidak menuntut penghargaan, tidak
menuntut pengakuan dari orang lain. Antara Pelayanan dan Pengakuan memang harus
dibedakan..
Saya hanya bisa berdoa Tuhan
tolong terangi kami anak-anakMu, lepaskanlah kami dari persoalan ini, mampukan
kami untuk menyelesaikan hal ini, mampukan kami membangun kembali mahligai
kehidupan yang damai kembali seperti kasihMu kepada kami semua, namun
kehendakMu jadilah bukan kehendakku Tuhan.
Firman Tuhan berkata, Lukas 17: 7-10;
(7) “Siapa di antara kamu yang
mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan
berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! (8)
Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah
pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah
itu engkau boleh makan dan minum. (9) Adakah ia berterima kasih kepada hamba
itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? (10)
Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang
ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak
berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."
Bagaimana kita melihat diri kita
di hadapan Tuhan? Apakah kita menyadari bahwa sesungguhnya posisi kita dihadapan
Tuhan adalah sebagai seorang hamba? Saya berhutang, Saudara juga berhutang, hutang kita terlalu banyak kepada Allah. Penebusannya
di kayu salib adalah anugerah yang seharusnya tidak layak kita terima.
Pantaskah seorang hamba mengharapkan terima kasih setalah ia melakukan apa yang
seharusnya memang ia kerjakan?
Saya hanya melakukan apa yang
seharusnya saya lakukan, bukankah kata-kata ini yang seharusnya terus
terngiang-ngiang setiap kali kita memiliki kesempatan untuk melayani Tuhan? Dan
lebih dari itu, bukankah kesempatan ini adalah anugerah? Kenyataannya Allah
dapat memakai siapa saja. Bukankah suatu anugerah untuk berbagi dalam pekerjaan
pelayanan Tuhan? Pernahkah kita bertanya "Mengapa Tuhan memilih saya
untuk melakukan pekerjaanNya?"
Kelelahan, kekecewaan,
keputusasaan, bahkan perasaan frustasi sangat mungkin terjadi ketika kita
melayani Tuhan. Tapi maukah kita mengambil keputusan untuk sekedar menilik
kembali posisi di mana seharusnya kita berdiri, dan melihat semua tanggung
jawab sebagai anugerah yang dipercayakan kepada kita? Melayani Tuhan bukan
beban, melayani Tuhan adalah kesempatan dan anugerah.
Saudara, marilah kita terus
memiliki kerinduan untuk ketika kita berhadapan muka dengan muka dengan Tuhan
kelak, kita dapat mendengar Ia memanggil kita dengan sebutan; “Hai hambaku yang
baik dan setia”. Oleh karena itu, mari
tunaikan tugas pelayanan kita dengan gentar, semata-mata karena anugerah Tuhan
saja.
-- o0o --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar