Kelemahan kita manusia.. umumnya cenderung untuk berpikir
dalam konteks material, apa yang nampak terlihat saja, seperti; harta, kekayaan,
jabatan, pangkat, kekuasaan, dsb. Padahal Ukuran2 manusia itu belum tentu
menjadi ukuran dari berkat Tuhan.
Seperti di lingkungan kerja, misalnya... Seorang pejabat/
atasan tentu punya kuasa untuk memerintah anak buahnya. Ia pasti dihormati anak
buahnya sepanjang memang ia baik dan bertanggung-jawab. Tetapi ada kalanya seorang pejabat tidak
seperti itu, ia malah menggunakan jabatannya untuk kepentingan sendiri dengan
memanfaatkan kuasanya itu. Tidak menggunakan berkat jabatan atau kuasanya
sebagaimana mestinya, sehingga malah menimbulkan kegundahan bagi anak buahnya,
menuruti...salah, menolak perintahnya
pun...takut.
Mungkin keberadaan kita saat ini bukanlah seorang pejabat
yang punya kuasa. Mungkin kita adalah orang2 pinggiran atau orang biasa “wong
cilik” yang kadang harus mengalah kepada mereka yang berkuasa atau sok
kuasa. Tapi pernahkah kita berpikir
bahwa justru dengan keberadaan kita saat ini kita bisa bersyukur, mensyukuri
berkat Tuhan yang Ia berikan, spt; ketenangan, rasa damai, hati yang suka-cita,
kesehatan, tidur pulas, masih punya waktu untuk berpelayanan, masih bisa
bersekutu dalam pertemuan rohani dg saudara lainnya, dst. Seberapa berkat Tuhan itu mungkin nilainya
“lebih” dari sekedar jabatan yang mempunyai beban kerja yang lebih berat dan waktu
terkuras dalam pekerjaan sehari2, yang sering harus pulang malam hari.
Tuhan tidak menjanjikan bahwa orang yang percaya dan setia
melayaniNya akan selalu menjadi orang kaya, berkuasa, dst. namun Ia berjanji
bahwa mereka bahkan anak cucunya tidak akan sampai mengalami kekurangan atau
meminta-minta (Mazmur 37:25). Tuhan akan
selalu menyediakan dan mencukupi kebutuhan orang benar yang mau terlebih dulu
mencari Kerajaan Allah.
Saudara, ada satu cerita nyata menarik, seperti yang
diceritakan oleh Bp. Ravik Karsidi Rektor UNS, sbb:
Waktu itu saya dalam perjalanan
dari Jogya ke Jakarta naik pesawat.
Karena keberangkatan pesawat
ditunda 1 jam saya menunggu di Kafetaria bandara Adisucipto sekedar minum kopi.
Didepan saya duduk seorang ibu sudah agak tua, memakai pakaian jawa tradisional
kain batik dan kebaya, wajahnya tampak tenang dan keibuan.
Sekedar mengisi waktu, saya
mengajaknya bercakap-cakap.
"Badhe tindak Jakarta,
Bu...?"
"Inggih nak, namung transit ing
Cengkareng lajeng dhateng Singapura."
"Menawi kepareng nyuwun pirsa,
kagungan perlu menapa ibu tindak Singapura..?"
"Tuwi anak kula ingkang nomer
kalih Nak. Semahipun nglairaken wonten ngrika lajeng kula dipun kintuni tiket
lan dipun urusaken paspor langkung Biro Perjalanan. Dados kula kantun mangkat
boten sisah repot ngurus menapa-menapa".
"Ingkang putra ngasta wonten
pundi Bu.?"
"Anak kula menika Insinyur
Perminyakan, nyambut damel wonten Perusahaan Minyak Asing, samenika dados Kepala
Kantor Cabang Singapura."
"Putra sedaya pinten,
Bu.?"
"Anak kula sekawan Nak, jaler
tiga, estri setunggal. Menika wau anak kula nomer kalih. Ingkang nomer tiga ugi
jaler, Dosen Fakultas Ekonomi UGM, samenika saweg mendhet Program Doktor wonten
Amerika. Ingkang ragil estri, dados dokter spesialis
Anak, semahipun ugi dokter Ahli
Bedah lan dosen wonten Fakultas Kedokteran Airlangga
Surabaya."
"Menawi putra
mbajeng.?"
"Piyambakipun tani, Nak.
Manggen ing Godean nggarap sabin tilaranipun swargi
bapakipun".
Saya tertegun sejenak lalu
dengan hati-hati saya bertanya,
"Temtunipun Ibu kuciwa kaliyan
putra mbajeng nggih Bu. Kok boten sarjana kados
rayi-rayinipun."
"Babarpisan boten,Nak. Kita
sedaya malah ngurmati piyambakipun. Kanthi kasil saking sawahipun, piyambakipun
ngragadi gesang kita sakulawarga lan nyekolahaken rayi-rayinipun sedaya ngantos
rampung sarjana".
Tuhan menyukai kesederhanaan dalam arti pengendalian diri,
tapi bukan kemiskinan. Tuhan adalah Allah yang memelihara, karena itulah orang
yang hidup dalam jalan yang benar tidak perlu kuatir akan mengalami hidup
kekurangan, bahkan dapat menjadi saluran berkat bagi orang lain seperti anak Ibu
yang jadi petani dalam cerita tadi.
Ternyata yang penting bukan Apa atau Siapa kita, tetapi apa yang telah
kita perbuat. Allah tidak akan menilai apa dan siapa kita, tetapi perbuatan
kita yang telah kita lakukan bagi orang lain.
Tuhan juga menjanjikan bahwa siapa yang setia kepadaNya juga
akan memperoleh kekayaan dalam dunia ini menurut kemuliaanNya (Filipi 4:19).
Jadi ukuran kekayaan menurut Tuhan bukanlah pada besarnya harta, tingginya
jabatan, besarnya pengaruh kuasa yang dimiliki seseorang, melainkan sejauh mana ia
mempergunakan kekayaan dan kuasanya itu untuk melayani Tuhan dan
sesamanya. amin.
Seperti pujian berikut:
Ku tak dapat lupakan
kebaikan yang ku terima
pengorbananMu yang mulia
jadikanku berharga
Kau tulus menerima
aku apa adanya
kekuatan kasihMu nyata
memulihkan hidupku
Kau bukan Tuhan yang melihat rupa
Kau bukan Tuhan yang memandang harta
hati hamba yang selalu Kau cari
biar Kau temukan di dalamku...
Berkah dalem...
Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar