Jumat, 23 Januari 2015

Bohong



Shalom Saudara,
Tentu kita pernah berbohong,  ya.. mungkin demi kebaikan atau untuk alasan2 tertentu lainnya, seperti rasa “ewuh-pekewuh”, atau untuk  “menjaga” kondisi atau suasana tertentu, dsb.  Kita bisa beralasan bahwa berbohong kecil demi kebaikan tidak apa2, dari pada malah nanti menjadi tidak baik atau memperkeruh keadaan.    

Seperti misalnya, ketika kita bertamu ke rumah teman, kemudian dijamu makanan atau minuman oleh si tuan rumah. Kita ditawari makanan itu, karena rasa pekewuh biasanya kita menolak halus dengan mengatakan “trimakasih, masih kenyang, atau sudah.. tadi sudah makan kok.. trimakasih”  Padahal sebenarnya tidak begitu adanya,  malah sebenarnya lapar berat kita, dan pengin juga makan. Pernah melakukan itu.. kita? 

Dulu...  saat masih muda, saya pernah bertanya pada pacar saya; "do you love me?"  dijawabnya;  ”no!”. Lain waktu, nekat saya nanya lagi kepadanya "will you marry me?" jawabnya tetap  no!”.  Dan sampai sekarangpun dia tetap mengatakan “no” jika saya tanyakan lagi hal yang sama, walaupun kenyataannya dia sudah jadi istri dan ibu dari anak2 saya selama bertahun2 yang mencintai keluarganya.  Berbohongkah dia? 
 
Dalam dunia kerja misalnya; ketika kita diperintahkan oleh atasan kita untuk melakukan sesuatu yang menurut kita kurang/tidak pas, yang sebenarnya kita tidak sreg untuk melakukannya. Timbul dilema, tetapi kita tidak kuasa untuk menolak dengan mengatakan “tidak”, sehingga yang terjadi; dengan (agak) terpaksa kita mengatakan “baik pak/bu”. Kita melakukan tugas itu dengan perasaan nggrundel, jengkel, pokoknya tidak nyamanlah.  Sejatinya kita telah membohongi diri sendiri.   

Banyak ya.. peristiwa2 yang telah kita lalui tanpa lepas dari kebohongan.    Semoga ini menjadi refleksi  bagi kita secara pribadi.
 
Dalih seperti berbohong demi kebaikan atau biasa disebut "white lies" sering dipakai sebagai alasan untuk membenarkannya.  Merasa benar ketika berbohong demi menjaga keutuhan sebuah hubungan, tidak ingin menyinggung, dsb. Atau mungkin juga didasari karena adat, kultur atau budaya setempat yang membuat orang tidak bisa secara explisit, lugas mengatakan yang sebenarnya.  Benarkah ada kondisi2 tertentu yang memperbolehkan kita untuk berbohong?   Jawabannya TIDAK!.   Kebohongan dalam bentuk dan alasan apapun tidak akan pernah benar di mata Tuhan.

Seperti dinyatakan dalam Matius 5:37 

"Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat."

Hukum Tuhan; kalau putih..ya putih, hitam..ya hitam. Tidak ada kompromi menjadi abu-abu misalnya. Tidak ada kata kecuali.  Bohong ya bohong, tidak mengenal bohong kecil atau bohong besar, bohong putih atau hitam.  

Karena kalau kita sudah terbiasa melakukan kebohongan2 walaupun sekecil atau seputih apapun, maka akan terus diikuti oleh kebohongan2 lain yang lebih besar. Karena terbiasa berbohong, membuat kita merasa biasa2 saja ketika berkata tidak jujur, dan itu bisa fatal akibatnya.   Ingat cerita suami istri Ananias dan Safira, mereka berdua mendapat konsekuensi berat akibat berbohong. (Kis  5:1-11)

Saudara,
Pernahkah kita dibohongi oleh orang lain, atau mungkin malah orang2 terdekat kita, yang kita percayai, yang kita sayangi?  apa yang kita rasakan.... kecewa, sakit hatikah kita?.   Apalagi Bapa Allah kita, bagaimana perasaanNya ketika kita bohong/ tidak jujur padaNya? Padahal Ia sangat2 mengasihi kita.  Sekalipun dilakukan demi kebaikan, kebohongan tetaplah dusta yang mengingkari kebenaran, dan akan melukai hatiNya.

Jadi, “katakanlah sejujurnya” atau “jujurlah padaku” dan “jangan ada dusta lagi diantara kita”    Bapa kita menginginkan anak2Nya untuk tak lagi berbohong.  Dan mari kita lakukan kehendakNya itu di setiap aktifitas kehidupan kita dihadapkan pada dan dalam situasi apapun.  Amin.

Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar