Shalom
Saudara,
Tentu kita pernah berbohong, ya..
mungkin demi kebaikan atau untuk alasan2 tertentu lainnya, seperti rasa
“ewuh-pekewuh”, atau untuk “menjaga”
kondisi atau suasana tertentu, dsb. Kita
bisa beralasan bahwa berbohong kecil demi kebaikan tidak apa2, dari pada malah
nanti menjadi tidak baik atau memperkeruh keadaan.
Seperti misalnya, ketika kita bertamu ke rumah teman, kemudian dijamu
makanan atau minuman oleh si tuan rumah. Kita ditawari makanan itu, karena rasa
pekewuh biasanya kita menolak halus dengan mengatakan “trimakasih, masih kenyang,
atau sudah.. tadi sudah makan kok.. trimakasih”
Padahal sebenarnya tidak begitu adanya, malah sebenarnya lapar berat kita, dan pengin
juga makan. Pernah melakukan itu.. kita?
Dulu... saat masih muda, saya
pernah bertanya pada pacar saya; "do you
love me?" dijawabnya; ”no!”.
Lain waktu, nekat saya nanya lagi kepadanya "will you marry me?" jawabnya tetap ”no!”. Dan sampai sekarangpun dia tetap mengatakan “no” jika saya tanyakan lagi hal yang sama, walaupun
kenyataannya dia sudah jadi istri dan ibu dari anak2 saya selama bertahun2 yang mencintai keluarganya. Berbohongkah
dia?
Dalam dunia kerja misalnya;
ketika kita diperintahkan oleh atasan kita untuk melakukan sesuatu yang menurut
kita kurang/tidak pas, yang sebenarnya kita tidak sreg untuk melakukannya. Timbul dilema, tetapi kita tidak kuasa untuk
menolak dengan mengatakan “tidak”, sehingga yang terjadi; dengan (agak) terpaksa
kita mengatakan “baik pak/bu”. Kita melakukan tugas itu dengan perasaan nggrundel,
jengkel, pokoknya tidak nyamanlah. Sejatinya kita telah membohongi diri sendiri.
Banyak ya.. peristiwa2 yang telah
kita lalui tanpa lepas dari kebohongan.
Semoga ini menjadi refleksi bagi kita secara pribadi.
Dalih seperti berbohong demi kebaikan atau biasa disebut "white
lies" sering dipakai sebagai alasan untuk membenarkannya. Merasa benar ketika berbohong demi menjaga
keutuhan sebuah hubungan, tidak ingin menyinggung, dsb. Atau mungkin juga
didasari karena adat, kultur atau budaya setempat yang membuat orang tidak bisa
secara explisit, lugas mengatakan yang sebenarnya. Benarkah ada kondisi2 tertentu yang
memperbolehkan kita untuk berbohong?
Jawabannya TIDAK!. Kebohongan
dalam bentuk dan alasan apapun tidak akan pernah benar di mata Tuhan.
Seperti dinyatakan dalam Matius 5:37
"Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat."
Hukum Tuhan; kalau putih..ya
putih, hitam..ya hitam. Tidak ada kompromi menjadi abu-abu misalnya. Tidak ada
kata kecuali. Bohong ya bohong, tidak
mengenal bohong kecil atau bohong besar, bohong putih atau hitam.
Karena kalau kita sudah terbiasa
melakukan kebohongan2 walaupun sekecil atau seputih apapun, maka akan terus diikuti
oleh kebohongan2 lain yang lebih besar. Karena terbiasa berbohong, membuat kita merasa biasa2 saja ketika berkata
tidak jujur, dan itu bisa fatal akibatnya. Ingat cerita suami istri Ananias dan
Safira, mereka berdua mendapat konsekuensi
berat akibat berbohong. (Kis 5:1-11)
Saudara,
Pernahkah kita dibohongi oleh orang lain, atau mungkin malah orang2 terdekat kita, yang kita percayai, yang kita sayangi? apa yang kita rasakan.... kecewa, sakit
hatikah kita?. Apalagi Bapa Allah kita, bagaimana
perasaanNya ketika kita bohong/ tidak jujur padaNya? Padahal Ia sangat2
mengasihi kita. Sekalipun dilakukan demi
kebaikan, kebohongan tetaplah dusta yang mengingkari kebenaran, dan akan
melukai hatiNya.
Jadi, “katakanlah sejujurnya” atau “jujurlah padaku” dan “jangan
ada dusta lagi diantara kita” Bapa
kita menginginkan anak2Nya untuk tak lagi berbohong. Dan mari kita lakukan kehendakNya itu di
setiap aktifitas kehidupan kita dihadapkan pada dan dalam situasi apapun. Amin.
Tuhan
memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar