Minggu, 14 Desember 2014

Memahami orang lain

Shalom Saudara,
Pagi setibanya di kantor, biasanya saya mampir dulu ke kantin yang letaknya di belakang kantor, untuk sekedar minum teh sambil ngobrol dengan rekan kerja lain.  Dan, jika waktu telah menunjuk pukul 8, kamipun dengan sendirinya bubar untuk menuju ruang kerja masing2.  Kadang2 dari sekedar mengobrol itu muncul ide2 atau gagasan yang bisa menjadi hikmah untuk perenungan.
 
Seperti pagi itu, kami ngobrol tentang bagaimana memahami orang lain dan bagaimana mengelola hati, perasaan/emosi kita terhadap tindakan orang lain kepada diri kita. Ternyata... sulit untuk memahami orang lain, karena kita harus tahu lebih dulu bagaimana keadaan, situasi hati, karakter, sudut pandang, latar belakang orang tersebut.  Mengerti dan paham akan sesuatu sangat sulit untuk diterapkan apabila kita tidak memiliki dasar pengetahuan tentang hal itu.  

Di samping itu, hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana memahami diri kita sendiri sebelum memahami/ menilai orang lain.  Mudah untuk menilai orang lain, tapi belum tentu kita bisa menilai dan melihat apa yang sudah kita lakukan.  Seperti ungkapan “Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak

Sebagai ilustrasi;
Seorang istri sedang memasak di dapur. Suami yang berada di sampingnya mengoceh tak berkesudahan; “Pelan sedikit, hati-hati! Apinya terlalu besar, Ikannya cepat dibalik, minyaknya terlalu banyak!” Istrinya secara spontan menjawab dengan ketus; “Saya mengerti bagaimana cara memasak sayur!”  Lalu, suaminya dengan tenang menjawab; “Saya hanya ingin dirimu mengerti bagaimana perasaan saya, saat saya sedang mengemudikan mobil, kau yang berada disamping mengoceh tak ada hentinya”.

Ya... Belajar memberi kelonggaran kepada orang lain tidak sulit dan bisa kita lakukan, asalkan kita mau berdiri di sudut dan pandang orang lain dalam melihat suatu masalah.

Seperti dinyatakan dalam Kitab Ayub 15, tentang Ayub dalam penderitaannya. Elifas istrinya tak bisa memahami Ayub, karena dia hanya mengandalkan nalar saja tanpa sikap emphati.

Orang yang baik akan terus berusaha untuk menjaga perasaan, memahami orang lain sebelum melakukan aktifitas/tindakannya.  Memang tidak mudah, karena pada dasarnya manusia lebih suka menumpahkan amarah, kebencian, kesombongan, dsb.  Perlu proses untuk mencapai ke sana, karena banyak orang merasa dirinya sudah cukup baik, padahal dalam perilaku kesehariannya nyatanya tidak seperti itu.

Apakah kita sudah membiasakan diri untuk selalu berusaha memahami orang lain?

Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar