Shalom
Saudara,
Pagi
setibanya di kantor, biasanya saya mampir dulu ke kantin yang letaknya di belakang kantor, untuk
sekedar minum teh sambil ngobrol dengan rekan kerja lain. Dan, jika waktu telah
menunjuk pukul 8, kamipun dengan sendirinya bubar untuk menuju ruang kerja masing2. Kadang2 dari sekedar mengobrol itu muncul ide2
atau gagasan yang bisa menjadi hikmah untuk perenungan.
Seperti pagi
itu, kami ngobrol tentang bagaimana memahami orang lain dan bagaimana mengelola
hati, perasaan/emosi kita terhadap tindakan orang lain kepada diri kita. Ternyata... sulit untuk memahami
orang lain, karena kita harus tahu lebih dulu bagaimana keadaan, situasi hati, karakter, sudut pandang, latar belakang orang
tersebut. Mengerti dan paham akan sesuatu
sangat sulit untuk diterapkan apabila kita tidak memiliki dasar pengetahuan
tentang hal itu.
Di samping itu, hal
yang lebih penting lagi adalah bagaimana memahami diri kita sendiri sebelum
memahami/ menilai orang lain. Mudah
untuk menilai orang lain, tapi belum tentu kita bisa menilai dan melihat apa
yang sudah kita lakukan. Seperti
ungkapan “Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak”
Seorang istri sedang memasak di
dapur. Suami yang berada di sampingnya mengoceh tak berkesudahan; “Pelan
sedikit, hati-hati! Apinya terlalu besar, Ikannya cepat dibalik, minyaknya
terlalu banyak!” Istrinya secara spontan menjawab dengan ketus; “Saya mengerti
bagaimana cara memasak sayur!” Lalu, suaminya
dengan tenang menjawab; “Saya hanya ingin dirimu mengerti bagaimana perasaan
saya, saat saya sedang mengemudikan mobil, kau yang berada disamping mengoceh
tak ada hentinya”.
Ya... Belajar memberi kelonggaran
kepada orang lain tidak sulit dan bisa kita lakukan, asalkan kita mau berdiri di sudut dan
pandang orang lain dalam melihat suatu masalah.
Seperti dinyatakan dalam Kitab Ayub 15,
tentang Ayub dalam penderitaannya. Elifas istrinya tak bisa
memahami Ayub, karena dia hanya mengandalkan nalar saja tanpa sikap emphati.
Orang yang baik akan terus berusaha untuk menjaga
perasaan, memahami orang lain sebelum melakukan aktifitas/tindakannya. Memang tidak mudah, karena pada
dasarnya manusia lebih suka menumpahkan amarah, kebencian, kesombongan, dsb. Perlu proses untuk mencapai ke sana, karena
banyak orang merasa dirinya sudah cukup baik, padahal dalam perilaku
kesehariannya nyatanya tidak seperti itu.
Apakah kita sudah membiasakan
diri untuk selalu berusaha memahami orang lain?
Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar