Rabu, 12 November 2014

Sepi ing pamrih, rame ing gawe

Waktu kecil dulu, saya suka jika diajak bapak saya melihat pertunjukan wayang orang (wayang wong) di Gedung Teater yang ada di taman Sriwedari Solo. Pertunjukan budaya tradisionil ini waktunya panjang, biasanya mulai jam 8 malam sampai sekitar jam 2 atau 3 pagi, tapi waktu itu memang belum ada hiburan lainnya seperti sekarang ini, apalagi TV, atau media entertain lainnya.  Moment yang saya tunggu2 di pertunjukan itu adalah saat “Goro-goro”, dimana para Punakawan yang terdiri dari  Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ini muncul, yang biasanya waktunya tengah malam.  Rasa kantukpun seakan hilang jika mereka ini tampil.   Banyak banyolan, saling umpan pembicaraan seputar masalah sehari2 yang mereka hadapi, menjadi lucu apalagi ditambah tampilan dan gaya mereka masing2.. bisa menghibur dan membuat tertawa penontonnya.  

Saya baru tahu setelah dewasa, bahwa dibalik  candaan para Punakawan tadi terkandung/ tersirat banyak makna pelajaran budi luhur di dalamnya. Salah satunya adalah ajaran/falsafah “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”.  Falsafah  ini merupakan satu filsafat kerja yang sifatnya  provokatif (ajakan). Kira-kira arti kasarnya adalah “hindarilah (sepi) segala pamrih dalam setiap apa yang dikerjakan, tapi bersukarialah (rame) tatkala bekerja melakukan sesuatu. 

Cerita tentang bagaimana bekerja tulus, giat serta tanpa pamrih dilakukan oleh para Punakawan.  Para Punakawan ini melambangkan orang kebanyakan (bisa seperti kita ini). Bagaimana mereka bekerja dengan dengan kepolosan dan ketulusan masing2 individu disertai canda tawa.  Suasana guyub rukun (kondusif) terjadi, saling membantu kepada yang sedang kesulitan, yang membutuhkan bantuan, mengingatkan yang salah, memberikan teladan baik bagi yang lain, saling menasehati, dsb. 
Saudara,

Falsafah “Sepi ing pamrih, rame ing gawe” memang sudah lama ada dan dilakukan oleh masyarakat jawa sejak dulu, tetapi rasanya masih relevan kalau kita berlakukan dalam dunia kerja saat ini, walaupun kita tahu bahwa budaya seperti itu sudah semakin menipis saat ini. Orang bekerja karena punya kepentingan, tetapi untuk mencapai kepentingan itu orang melakukannya dengan cara2 di luar jalur aturan yang berlaku. Ada saja orang menuntut haknya tanpa melihat kewajibannya terlebih dulu, sifat opportunis yang semakin massive, korupsi berjamaah, ingin menang sendiri dengan menjegal lainnya, orang berlomba2 mencari uang sebanyak2nya dengan cara yang tidak biasa, dst.  Semua itu bisa kita lihat dan rasakan di sekitar kita saat ini. 

Nah... Bagaimana dengan kita, apakah seperti itukah? Tentu tidak khan! Dalam hal ini kita bisa merefleksi diri kita masing2.  Lalu, bagaimana menyikapinya..?  

Orang bekerja pasti punya kepentingannya (mustahil jika tdk), tetapi bagaimana menempatkan kepentingan itu sesuai dengan tempatnya dihadapkan pada lingkungan yang ada (empan papan), ini yang perlu kita perhatikan dan lakukan.   Kita bekerja hendaknya  tidak semata hanya mencari materi semata tetapi lebih dari itu bekerjalah dengan didasari rasa suka cita, penuh syukur dan untuk kemuliaan Tuhan.  Kita ingat bahwa Tuhan adalah sumber berkat, berkat bukan berarti hanya materi/uang, jabatan, kekuasaan, tetapi juga kesehatan, keluarga, ketenangan, damai sejahtera.

Seperti yang dinyatakan dalam Kolose 3:23 ; “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan...”

Suatu perintah Tuhan yang sering kita dengar, tetapi juga sering kita lupakan dalam melakukan aktifitas kita.   Hidup kita ini pendek, oleh karenanya menjadi lebih berarti jika hidup kita ini kita jadikan tempat  untuk memuji dan menyembahNya dengan apa yang kita miliki dan dengan apa yang mampu kita lakukan. 

Seperti syair lagu ini;
Eling-eling manungsa bakale mati
Eling-eling neng ndonya pira lawase
Eling-eling bandha ndonya ora langgeng
Ndherek Gusti langgeng selaminya...
www.youtube.com/watch?v=sp5GS4dZzS8

Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar