Waktu kecil dulu, saya suka jika diajak bapak saya
melihat pertunjukan wayang orang (wayang wong) di Gedung Teater yang ada di
taman Sriwedari Solo. Pertunjukan budaya tradisionil ini waktunya panjang,
biasanya mulai jam 8 malam sampai sekitar jam 2 atau 3 pagi, tapi waktu itu
memang belum ada hiburan lainnya seperti sekarang ini, apalagi TV, atau media
entertain lainnya. Moment yang saya
tunggu2 di pertunjukan itu adalah saat “Goro-goro”, dimana para Punakawan yang
terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan
Bagong ini muncul, yang biasanya waktunya tengah malam. Rasa kantukpun seakan hilang jika mereka ini
tampil. Banyak banyolan, saling umpan
pembicaraan seputar masalah sehari2 yang mereka hadapi, menjadi lucu apalagi
ditambah tampilan dan gaya mereka masing2.. bisa menghibur dan membuat tertawa
penontonnya.
Saya baru tahu setelah dewasa, bahwa dibalik candaan para Punakawan tadi terkandung/
tersirat banyak makna pelajaran budi luhur di dalamnya. Salah satunya adalah
ajaran/falsafah “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Falsafah
ini merupakan satu filsafat kerja yang sifatnya provokatif (ajakan). Kira-kira arti kasarnya
adalah “hindarilah (sepi) segala pamrih dalam setiap apa yang dikerjakan, tapi
bersukarialah (rame) tatkala bekerja melakukan sesuatu.
Cerita
tentang bagaimana bekerja tulus, giat serta tanpa pamrih dilakukan oleh para
Punakawan. Para Punakawan ini
melambangkan orang kebanyakan (bisa seperti kita ini). Bagaimana mereka bekerja
dengan dengan kepolosan dan ketulusan masing2 individu disertai canda tawa.
Suasana guyub rukun (kondusif) terjadi,
saling membantu kepada yang sedang kesulitan, yang membutuhkan bantuan,
mengingatkan yang salah, memberikan teladan baik bagi yang lain, saling
menasehati, dsb.
Saudara,
Falsafah “Sepi ing pamrih, rame ing gawe” memang sudah
lama ada dan dilakukan oleh masyarakat jawa sejak dulu, tetapi rasanya masih
relevan kalau kita berlakukan dalam dunia kerja saat ini, walaupun kita tahu
bahwa budaya seperti itu sudah semakin menipis saat ini. Orang bekerja karena
punya kepentingan, tetapi untuk mencapai kepentingan itu orang melakukannya
dengan cara2 di luar jalur aturan yang berlaku. Ada saja orang menuntut haknya tanpa melihat
kewajibannya terlebih dulu, sifat opportunis yang semakin massive, korupsi
berjamaah, ingin menang sendiri dengan menjegal lainnya, orang berlomba2 mencari
uang sebanyak2nya dengan cara yang tidak biasa, dst. Semua itu bisa kita lihat dan rasakan di
sekitar kita saat ini.
Nah... Bagaimana dengan kita, apakah seperti itukah?
Tentu tidak khan! Dalam hal ini kita bisa merefleksi diri kita masing2. Lalu,
bagaimana menyikapinya..?
Orang bekerja pasti punya kepentingannya (mustahil jika
tdk), tetapi bagaimana menempatkan kepentingan itu sesuai dengan tempatnya
dihadapkan pada lingkungan yang ada (empan papan), ini yang perlu kita
perhatikan dan lakukan. Kita bekerja hendaknya tidak semata hanya mencari materi semata
tetapi lebih dari itu bekerjalah dengan didasari rasa suka cita, penuh syukur
dan untuk kemuliaan Tuhan. Kita ingat
bahwa Tuhan adalah sumber berkat, berkat bukan berarti hanya materi/uang,
jabatan, kekuasaan, tetapi juga kesehatan, keluarga, ketenangan, damai
sejahtera.
Seperti yang dinyatakan dalam Kolose 3:23 ; “Apapun juga
yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk
Tuhan...”
Suatu perintah Tuhan yang sering kita dengar, tetapi
juga sering kita lupakan dalam melakukan aktifitas kita. Hidup kita ini
pendek, oleh karenanya menjadi lebih berarti jika hidup kita ini kita jadikan
tempat untuk memuji dan menyembahNya
dengan apa yang kita miliki dan dengan apa yang mampu kita lakukan.
Seperti syair lagu ini;
Eling-eling manungsa bakale
mati
Eling-eling neng ndonya pira
lawase
Eling-eling bandha ndonya ora
langgeng
Ndherek Gusti langgeng
selaminya...
www.youtube.com/watch?v=sp5GS4dZzS8
Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar