Kamis, 30 November 2017

Antara Logika dan Rasa

Antara Logika dan Rasa
Antara Pelayanan dan Pengakuan
Hampir 3 bulan terakhir ini rasanya hati ini ga enak, ketika dihadapkan dengan persoalan yang tengah terjadi di gereja. Belum reda mengatasi pergumulan di Komisi Pemuda, ditambah persoalan pelik ketika seorang gembala sidang membuat statement yang mengagetkan semua jemaat. Prihatin, sedih, menyayangkan kadang malah gemes dan marah.. campur aduk menjadi satu perasaan yang melelahkan!  Jujur rasanya kalau mau sembahyang, penginnya ngungsi dulu ke gereja lain agar ada keteduhan dan hati yang damai. ahhh...

Pernyataan yang membuat kaget setiap orang yang mendengarnya, bayangkan; “Hanya 10% kadar pelayanannya, minta alih pelayanan, membatasi diri dengan hanya sampai per tgl 12 November 2017 masa pelayanannya”  Sungguh sesuatu yang sangat memprihatinkan menurut saya... L
Seorang gembala sidang yang sudah semestinya menjadi panutan dan teladan bagi domba–domba  gembalaan-nya. Eeehhh... malah membuat ketidaknymanan dan hati tidak tenang bagi jemaatnya dengan statement seperti itu. Bahkan sempat terjadi friksi dan membuat emosi diantara jemaat yang mencedarai persekutuan yang damai, guyub rukun selama ini.
Persoalan yang sebenarnya seacara esensi tidak fatal dan prinsip, tetapi membuat banyak orang letih memikirkannya.  Apakah ini yang kau kehendaki?  Apakah hal ini disebut memberkati?  Mana teladanmu? Mana panutanku?! 
Saya bukan orang yang tahu persis apa makna dari “adeging pandhito”, bahkan pengetahuan tentang peraturan gerejapun saya juga tidak tahu detilnya, tapi saya bisa merasakannya melalui rasa dan logika.
Secara logis; adeging pandhito itu seharusnya melayani dengan sepenuh hati (kanthi gumolonging manah), bahkan 1001% kalau memang itu bisa dan mampu dilakukan.  Melayani bukan untuk mencari pengakuan manusia (ukuran-ukuran manusia). Siapapun dan apapun bentuk pelayanan pasti mendapati banyak benturan dari yang dilayani yang kadang beda persepsi (krn bisa jadi beda cara pandang dan beda latar belakang), tetapi hal itu seharusnya bukan menjadi halangan atau malah menjadi alasan menghindarinya, dan justru seharusnya bisa menjadi bahan pengalaman dapat menguatkan kadar pelayanannya.  Antara rasa dan logika menjadi muncul di benak saya. Kenapa ini musti terjadi?
Melayani Tuhan berfokus pada mengerjakan apa yang Tuhan mau untuk kita kerjakan. Melayani Tuhan menghasilkan buah-buah roh dan memberkati orang yang dilayani, tetapi kalau melayani hanya untuk mendapatkan pengakuan jati diri ... nanti malah akan menghasilkan kekecewaan, pait hati dan kelelahan yang panjang ketika terbentur dengan ketidakcocokan.  Melayani Tuhan tidak menuntut penghargaan, tidak menuntut pengakuan dari orang lain. Antara Pelayanan dan Pengakuan memang harus dibedakan..
Saya hanya bisa berdoa Tuhan tolong terangi kami anak-anakMu, lepaskanlah kami dari persoalan ini, mampukan kami untuk menyelesaikan hal ini, mampukan kami membangun kembali mahligai kehidupan yang damai kembali seperti kasihMu kepada kami semua, namun kehendakMu jadilah bukan kehendakku Tuhan. 
Firman Tuhan berkata, Lukas 17: 7-10;
(7) “Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! (8) Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. (9) Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? (10) Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."
Bagaimana kita melihat diri kita di hadapan Tuhan? Apakah kita menyadari bahwa sesungguhnya posisi kita dihadapan Tuhan adalah sebagai seorang hamba? Saya berhutang, Saudara juga  berhutang,  hutang kita terlalu banyak kepada Allah. Penebusannya di kayu salib adalah anugerah yang seharusnya tidak layak kita terima. Pantaskah seorang hamba mengharapkan terima kasih setalah ia melakukan apa yang seharusnya memang ia kerjakan?
Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan, bukankah kata-kata ini yang seharusnya terus terngiang-ngiang setiap kali kita memiliki kesempatan untuk melayani Tuhan? Dan lebih dari itu, bukankah kesempatan ini adalah anugerah? Kenyataannya Allah dapat memakai siapa saja. Bukankah suatu anugerah untuk berbagi dalam pekerjaan pelayanan Tuhan?   Pernahkah  kita bertanya "Mengapa Tuhan memilih saya untuk melakukan pekerjaanNya?"
Kelelahan, kekecewaan, keputusasaan, bahkan perasaan frustasi sangat mungkin terjadi ketika kita melayani Tuhan. Tapi maukah kita mengambil keputusan untuk sekedar menilik kembali posisi di mana seharusnya kita berdiri, dan melihat semua tanggung jawab sebagai anugerah yang dipercayakan kepada kita? Melayani Tuhan bukan beban, melayani Tuhan adalah kesempatan dan anugerah.
Saudara, marilah kita terus memiliki kerinduan untuk ketika kita berhadapan muka dengan muka dengan Tuhan kelak, kita dapat mendengar Ia memanggil kita dengan sebutan; “Hai hambaku yang baik dan setia”.   Oleh karena itu, mari tunaikan tugas pelayanan kita dengan gentar, semata-mata karena anugerah Tuhan saja.


-- o0o --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar