Minggu, 06 September 2015

Apa dan Siapa Kita.

Shalom Saudara...
Kelemahan kita manusia.. umumnya cenderung untuk berpikir dalam konteks material, apa yang nampak terlihat saja, seperti; harta, kekayaan, jabatan, pangkat, kekuasaan, dsb. Padahal Ukuran2 manusia itu belum tentu menjadi ukuran dari berkat Tuhan.

Seperti di lingkungan kerja, misalnya... Seorang pejabat/ atasan tentu punya kuasa untuk memerintah anak buahnya. Ia pasti dihormati anak buahnya sepanjang memang ia baik dan bertanggung-jawab. Tetapi ada kalanya seorang pejabat tidak seperti itu, ia malah menggunakan jabatannya untuk kepentingan sendiri dengan memanfaatkan kuasanya itu. Tidak menggunakan berkat jabatan atau kuasanya sebagaimana mestinya, sehingga malah menimbulkan kegundahan bagi anak buahnya, menuruti...salah, menolak  perintahnya pun...takut.

Mungkin keberadaan kita saat ini bukanlah seorang pejabat yang punya kuasa. Mungkin kita adalah orang2 pinggiran atau orang biasa “wong cilik” yang kadang harus mengalah kepada mereka yang berkuasa atau sok kuasa.  Tapi pernahkah kita berpikir bahwa justru dengan keberadaan kita saat ini kita bisa bersyukur, mensyukuri berkat Tuhan yang Ia berikan, spt; ketenangan, rasa damai, hati yang suka-cita, kesehatan, tidur pulas, masih punya waktu untuk berpelayanan, masih bisa bersekutu dalam pertemuan rohani dg saudara lainnya, dst. Seberapa berkat Tuhan itu mungkin nilainya “lebih” dari sekedar jabatan yang mempunyai beban kerja yang lebih berat dan waktu terkuras dalam pekerjaan sehari2, yang sering harus pulang malam hari.

Tuhan tidak menjanjikan bahwa orang yang percaya dan setia melayaniNya akan selalu menjadi orang kaya, berkuasa, dst. namun Ia berjanji bahwa mereka bahkan anak cucunya tidak akan sampai mengalami kekurangan atau meminta-minta (Mazmur 37:25).  Tuhan akan selalu menyediakan dan mencukupi kebutuhan orang benar yang mau terlebih dulu mencari Kerajaan Allah.

Saudara, ada satu cerita nyata menarik, seperti yang diceritakan oleh Bp. Ravik Karsidi Rektor UNS, sbb:
Waktu itu saya dalam perjalanan dari Jogya ke Jakarta naik pesawat.
Karena keberangkatan pesawat ditunda 1 jam saya menunggu di Kafetaria bandara Adisucipto sekedar minum kopi. Didepan saya duduk seorang ibu sudah agak tua, memakai pakaian jawa tradisional kain batik dan kebaya, wajahnya tampak tenang dan keibuan.
Sekedar mengisi waktu, saya mengajaknya bercakap-cakap.
"Badhe tindak Jakarta, Bu...?"
"Inggih nak, namung transit ing Cengkareng lajeng dhateng Singapura."
"Menawi kepareng nyuwun pirsa, kagungan perlu menapa ibu tindak Singapura..?"
"Tuwi anak kula ingkang nomer kalih Nak. Semahipun nglairaken wonten ngrika lajeng kula dipun kintuni tiket lan dipun urusaken paspor langkung Biro Perjalanan. Dados kula kantun mangkat boten sisah repot ngurus menapa-menapa".
"Ingkang putra ngasta wonten pundi Bu.?"
"Anak kula menika Insinyur Perminyakan, nyambut damel wonten Perusahaan Minyak Asing, samenika dados Kepala Kantor Cabang Singapura."
"Putra sedaya pinten, Bu.?"
"Anak kula sekawan Nak, jaler tiga, estri setunggal. Menika wau anak kula nomer kalih. Ingkang nomer tiga ugi jaler, Dosen Fakultas Ekonomi UGM, samenika saweg mendhet Program Doktor wonten Amerika. Ingkang ragil estri, dados dokter spesialis
Anak, semahipun ugi dokter Ahli Bedah lan dosen wonten Fakultas Kedokteran Airlangga Surabaya."
"Menawi putra mbajeng.?"
"Piyambakipun tani, Nak. Manggen ing Godean nggarap sabin tilaranipun swargi bapakipun".
Saya tertegun sejenak lalu dengan hati-hati saya bertanya,
"Temtunipun Ibu kuciwa kaliyan putra mbajeng nggih Bu. Kok boten sarjana kados rayi-rayinipun."
"Babarpisan boten,Nak. Kita sedaya malah ngurmati piyambakipun. Kanthi kasil saking sawahipun, piyambakipun ngragadi gesang kita sakulawarga lan nyekolahaken rayi-rayinipun sedaya ngantos rampung sarjana".

Tuhan menyukai kesederhanaan dalam arti pengendalian diri, tapi bukan kemiskinan. Tuhan adalah Allah yang memelihara, karena itulah orang yang hidup dalam jalan yang benar tidak perlu kuatir akan mengalami hidup kekurangan, bahkan dapat menjadi saluran berkat bagi orang lain seperti anak Ibu yang jadi petani dalam cerita tadi.  Ternyata yang penting bukan Apa atau Siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat. Allah tidak akan menilai apa dan siapa kita, tetapi perbuatan kita yang telah kita lakukan bagi orang lain.

Tuhan juga menjanjikan bahwa siapa yang setia kepadaNya juga akan memperoleh kekayaan dalam dunia ini menurut kemuliaanNya (Filipi 4:19). Jadi ukuran kekayaan menurut Tuhan bukanlah pada besarnya harta, tingginya jabatan, besarnya pengaruh kuasa yang dimiliki seseorang, melainkan sejauh mana ia mempergunakan kekayaan dan kuasanya itu untuk melayani Tuhan dan sesamanya.  amin.

Seperti pujian berikut:
Ku tak dapat lupakan
kebaikan yang ku terima
pengorbananMu yang mulia
jadikanku berharga

Kau tulus menerima
aku apa adanya
kekuatan kasihMu nyata
memulihkan hidupku

Kau bukan Tuhan yang melihat rupa
Kau bukan Tuhan yang memandang harta
hati hamba yang selalu Kau cari
biar Kau temukan di dalamku...

Berkah dalem...
Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar