Shalom
Saudara,
Ketika teman
kerja kita mendapat penghargaan (promosi misalnya), tentu dan semestinya kitapun
ikut senang. Tetapi kadang ketika itu
terjadi, kemudian kita bertanya pada diri sendiri “kapan ya giliranku?” “kenapa
kok dia, bukan aku?” mungkin seperti itu..
dst. Bisa juga pertanyaannya berkembang
seperti misalnya “apakah karena aku minoritas?” ada semacam perasaan kecil hati dan
merendahkan diri karena masalah minoritas.
Pertanyaan2 yang muncul ini menunjukkan bahwa
secara sadar sebenarnya kitapun pengin diakui, dihargai atas eksistensi,
prestasi kita dalam lingkungan kerja kita. Ya, memang dalam hidup harus terus
punya angan, harapan. Sesuatu hal yang
wajar dan manusiawi sebenarnya. Tetapi setelah merasa minoritas, kemudian kita menjadi
lesu dan tidak bersemangat lagi, seolah harapan itu pupus di tengah jalan. Apakah sedemikian itu kita ini?
Karena aku
minoritas, sulit rasanya untuk mendapatkan pekerjaan, sulit rasanya untuk bisa
promosi dan menduduki jabatan strategis tertentu, sulit rasanya mendapat jodoh,
sulit rasanya untuk membangun tempat ibadah, dst. Ada perasaan patah semangat, takut duluan
sebelum mencoba berusaha dan melakukannya.
Saudara
terkasih,
Suatu kali dalam
persekutuan bina rohani di lingkungan kantor tempat kerja, Pembicaranya
memberikan ceramah bagaimana perasaan minoritas menerpa banyak anak2 Tuhan dihadapkan
pada tantangan hidup yang mereka hadapi saat ini. Merasa rendah diri, tidak bersemangat, atau
takut ketika dihadapkan pada masalah yang dihadapinya dengan alasan karena ia minoritas!
Ini mungkin yang
dinamakan “Sindrom Minoritas” Lalu, apa
itu?
Dari beberapa
tulisan, artikel menyatakan bahwa sindrom minoritas ini semacam penyakit dengan
gejala adanya kerendahdirian, ketakberdayaan dan ketakutan. Penyakit ini bisa menyerang setiap orang
percaya (termasuk kita) dan menghalangi pelayanan, kesaksiannya kepada
masyarakat di sekitarnya.
Lalu, bagaimana mengatasi, menyembuhkannya? Terapi alkitabiah bisa menjadi cara yang
efektif, yaitu dengan membaca, merenungkan dan menyerap spiritualitas kehidupan
tokoh2 Alkitab baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Ada baiknya kita bisa belajar dari mereka,
bagaimana iman dan tindakan mereka dalam menghadapi pergumulan hidupnya.
1. Yusuf. Yusuf bukan hanya minoritas, bahkan seorang diri di
Mesir. Tetapi ia dipakai Allah untuk membuat Firaun mengakui hikmat-Nya yang
dilimpahkan-Nya kepadanya.
2. Daniel.
Ia dan kawan2nya di kerajaan Nebukadnezar adalah minoritas, tetapi
dipakai Allah untuk membuat raja ini mengakui, memuji, meninggikan dan
memuliakan Allah Israel yang diperkenalkan oleh Daniel kepadanya.
3. Lidia.
Ia adalah perempuan Eropa pertama yang mau mengakui, percaya kepada Allah dan
dibabtis oleh Paulus di kota Filipi. (Kis 16:13-15).
Saudara
terkasih,
Kita ini memang minoritas
di lingkungan kita, tetapi apakah hal ini menjadi tembok tebal sebagai penghalang
untuk kita maju, untuk memberitakan hikmat Kristus, yang telah memperbarui
hidup kita kepada orang lain di sekitar kita, sehingga mereka mengenal, percaya
dan memuliakan Dia?
Kita tahu siapa Basuki Tjahaya Purnama ( Ahok) yang
Kristen dan Tionghwa (minoritas ganda), yang memiliki keberanian luar biasa
dalam berhadapan dengan tekanan mayoritas...
Ini semua menyadarkan kita bahwa sindrom
minoritas sebenarnya bukanlah penghalang bagi kita untuk maju dan menyatakan
kebenaran Allah melalui Tuhan Yesus Kristus.
Teladan manusia yang hidupnya menomorsatukan dan mengutamakan Allah lebih
dari pada apapun.. bisa kita contoh dan teladani. Jadi kenapa musti rendah diri apalagi
takut!
Kita akan pujikan: "YESUS AKU
CINTA"
FirmanMu ya dan amin
JanjiMu menopangku
Berjalan bersamaMu
Disetiap musim hidupku
Yesus aku cinta padaMu
Yesus tetaplah bersamaku
Tiada yang dapat menggantikanMu
Engkaulah jaminan hidupku
FirmanMu ya dan amin
JanjiMu menopangku
Berjalan bersamaMu
Disetiap musim hidupku
Yesus aku cinta padaMu
Yesus tetaplah bersamaku
Tiada yang dapat menggantikanMu
Engkaulah jaminan hidupku
Tuhan memberkati.
Tak ada minor dan tak ada mayor. Sebab semestinya semua itu harus diletakkan pada esensi kemanusiaan yang sama. Tapi itulah kenyataan dilapangan, masyarakat kita telah terlanjur menelan konsep mayor+minor.
BalasHapus